SikapOrang Kristen Terhadap Kebudayaan di Kehidupan. Sikap perihal pengudususan atau pertobata adalah dikap yang tidak menolak, namun termasuk tidak menerima, namun sikap berasal dari kepercayaan yang kuat bahwa kejatuhan umat manusia tidak mampu menghilangkan kasih Allah atas manusia. Manusia perlu beroleh kebudayaan selama hasil-hasil Pembahasandan Penjelasan. Menurut saya jawaban A. Meneladani semangat para pelopor kebangkitan nasional adalah jawaban yang paling benar, bisa dibuktikan dari buku bacaan dan informasi yang ada di google.. Menurut saya jawaban B. Menghafalkan sejarahnya kebangkitan nasional adalah jawaban yang kurang tepat, karena sudah terlihat jelas antara pertanyaan dan jawaban tidak nyambung sama sekali. Berikutini yang merupakan sikap bangga terhadap kebudayaan bangsa sendiri adalah . SD Matematika Bahasa Indonesia IPA Terpadu Penjaskes PPKN IPS Terpadu Seni Agama Bahasa Daerah SikapKristen terhadap kebudayaan yang tepat adalah. a. dominatif b. transformatif c. dualisme d. antagonis e. akomodatif 20. 14 Yang disebut dengan Separatisme adalah a. Gerakan yang bertujuan untuk memisahkan suatu wilayah b. Ikatan kuat dalam sebuah kelompok c. Sikap yang cenderung bersifat subjektif dalam memandang budaya lain d. Pemandangan bahwa aktivitas manusia harus berasaskan bukti dan fakta 15. ugQInTb. Sponsors Link Kesaksian yang ada pada Alkitab dengan perihal yang terkait tentang kehadiran kekristenan di tengah kebudayaan manusia. Tanpa disadari bahwa kebudayaan sudah mengakar pada kehidupan kita, tergantung latar belakang kita, tempat kita berkembang, bagaimana kita dibesarkan dan banyak lainnya dan mengenal prinsip gereja terhadap politik. Maka dari itu adanya kebudayaan yang berkaitan dengan kehidupan beragama harus disingkronkan agar terwujud keselarasan dan keseimbangan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, diantaranya kebudayaan yang berkaitan dengan Iman Kristus sesuai dengan hukum kasih dalam Alkitab adalah Pandangan Hidup Pandangan hidup yang dimaksud disini adalah seperti melihat keyakinan yang dimiliki seseorang dalam agamanya pasti akan memberikan pengaruh pada pandangan hidupnya sesuai dengan sejarah agama kristen. Sikap, tujuan, dan sistem nilai yang terjadi pda kehidupan seseorang akan dipengaruhi oleh pandangan hidupnya. Kenyataan ini yang menjadi tantangan yang cukup memberatkan untuk memberitakan Injil. Hal ini disebabkan oleh tidak mungkinnya manusia untuk meninggalkan pandangan hidupnya ang sudah bertahun-tahun sudah menjadi landasaran pemikiran dan sudah dihayati. Maka dari itu kedatangan Injil yang dianggap sebagai ancaman serius dalam hidupnya. Kesulitan yang terjadi ini hanya dapat ditebus oleh kuasa Roh Kudus yang hanya sanggup memulihkan pandangan hidup yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan iman yang dianugerahkan kepada Allah dalam Yesus Kristus dan menjadi tujuan hidup orang kristen. Apabila tidak diterapkan dalam kondisir seperti ini akan terlihat bahwa manusia akan selalu ada kecendrungan untuk inkulturisasi. Pola Hidup Pola hidup manusia merupakan suatu hal yang dipengaruhi oleh kebudayaan dimana dia hidup. Hal ini akan dilakuakan dengan cara keturunan turun-temurun sehingga akan lahirnya adat-istiadat. Pada umumnya adat-istiadat ini dijiwai dan akan berhubungan erat dengan agama yang akan dianut oleh masyarakatnya. Dalam hal pola hidup pun juga merupakan keadaan yang merupakan suatu hambatan untuk melakukan pelayanan Injil. Karena memang Injil dianggap sebagai ancaman yang dapat merubah pola hidup yang telah dimiliki oleh manusia selama hidupnya. Dengan adanya kecendurngan untuk memadukan adanya adat dan Injil seharusnya dapat diperhatikan dalam setiap pelayanan teruntuk mereka-mereka yang baru saja bertobat mengajarkan tentang manfaat berdoa bagi orang kristen. Kebudayan dapat menjadi upaya untuk memisahkan manusia dari sesamanya dan manusia dari Allahnya maka dengan ini sebaliknya adalah Injil yang akan mempersatukan kembali umatnya dngan Allah dan sesamanya Ef 213-18 . Seperti yang diketahui bahwa Injil bukanlah salah satu hasil dari kebudayaan. Injil akan memulihkan manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, maka dari itu Injil harus inkernasi dalam keadaan manusia. Hal ini juga ditunjukan pada bentuk-bentuk sejarah yang berupa tempat, yaitu Antiokhia Antiokhia merupakan kota yang menjadi pusat perdagangan yang berisi dnegan hiasan dan bangunan yang megah yang merupakan prestasi manusia modern dengan adanya kuil-kuil untuk pemujaan dewa. Pada titik inilah untuk pertama kalinya pengikut Kristus dapat disebut dengan sebutan orang Kristen, karena diantara jiwa penduduk di kota tersebut yang didiami oleh umat kafir, sekelompok kecil umat Kristiani menunjukan identitasnya sebagai manusia yang telah diperbaharui oleh Kristus Kis 1126. Korintus Korintus merupakan sebuah kota yang menjadi pusat kegiatan perdagangan dan sekaligus kota yang menjadi pusat pemuasan hawa nafsu seks. Dengan adanya Injil, lebih banyak orang percaya dan mengkuduskan kehidupannya dalam Kristus Yesus. Pada kenyataannya kebudayaan orang Korintus ini memang menjadi salah satu faktor yang menghambat terjadinya pertumbuhan iman jemaat. Athena Athena merupakan tempat yang tidak asing untuk diketahui, Athena merupakan kota dan pusat untuk kaum terpelajar yang memiliki penuh dengan berhala. Pada suatu saat Injil diberitakan untuk mendapat tantangan dari kaum intelektualnya. Tetapi pada faktanya yang terjadi adalah Injil malah melampaui akal budi manusia yang dapat dibuktikan dengan lahirnya jemaat di Athena Efensus Efensus juga merupakan kota yang terkenal dengan segala pemujaan kepada Dewi Atemis sehingga kehadiran Injil pada Efensus merupakan suatu ancaman yang besar bagi perkembangan kebudayaan yang dapat dirasakan oleh agama mereka. Kis 19, 25, 27. Namun berlawanan dengan Athena, Efensus lebih menolak Injil dengan kekerasan tetapi tanpa diduga hasil dari penginjilan di efensus lebih besar daripada penginjilan yang terjadi di Athena. Demikian penjelasan mengenai contoh kebudayaan yang sesuai dengan iman kristen. Dalam hal ini Injil selalu dihadapi dengan kelompok yang memiliki moral yang rendah, yang hanya mengejar kepuasan hawa nafsu dan kenikmatan hidup, kaum yang memiliki intelektual, kelompok berbudaya yang dijiwai agama asali, dan fanatisme agama. Hal yang terjadi dalam pertemuan Injil dan kebudayaan adalah dimana Injil akan bersifat untuk menempatkan kebudayaan sebagai sarana untuk menjadi pelayan untuk dapat melengkapi kebutuhan manusia untuk hidup dengan memuliakan Allah. Maka dengan melalui kebudayaan, manusia yang telah menerima adanya Injil akan dapat memancarkan nikmat dan hikmat Ilahi. Semoga bermanfaat dan terimakasih Tuhan memberkati. 1 Korintus 921; Galatia 21-5. Kebudayaan adalah aspek penting dalam kehidupan manusia. Identitas diri dan kebiasaan hidup kita terbentuk salah satunya melalui kebudayaan. Itulah sebabnya manusia pada dasarnya tidak bisa lepas dari kebudayaa. Kali ini kita akan membicarakan mengenai pandangan Kristen tentang kebudayaan. Menurut Kevin J. Vanhoozer, seorang ahli dalam bidang teologi dari Universitas Edinburgh, Kebudayaan adalah ekspresi kongkrit dari apa yang manusia pikirkan dan rasakan. Jika kebudayaan dimengerti secara demikian, sebagai ekspresi dari apa yang kita pikirkan dan rasakan yang dinyatakan dalam bentuk-bentuk konkrit, maka semua karya manusia pada dasarnya merupakan sebuah kebudayaan. Mengapa demikian? Sebab segala hal yang kita lakukan semuanya didasarkan atas adanya dorongan pikiran dan perasaan kita. Saat kita merasa senang, kita kemudian menyanyi atau membuat nyanyian, karena ini adalah ekspresi dari rasa riang yang kita alami, maka membuat sebuah lagu termasuk sebuah kebudayaan; saat kita melihat sebuah realitas yang menyedihkan, misalnya saja bagaimana dalam gereja ada banyak orang yang kurang peduli dengan kitab suci, kemudian kita membuat sebuah program untuk mendorong jemaat membaca kitab suci, inipun merupakan bagian dari sebuah kebudayaan, dimana kita sedang membangun budaya membaca kitab suci. Jadi, kebudayaan adalah tema yang sangat luas dan kompleks, dan kita tidak mungkin menyoroti aspek kebudayaan yang seperti itu sekarang. Itulah sebabnya, saya ingin menyoroti salah satu aspek saja dari kebudayaan yakni kebudayaan yang dipahami sebagai tata cara hidup bermasyarakat yang berlaku dalam satu kelompok atau suku tertentu, dimana tata cara hidup bermasyarakat tersebut merupakan identitas dari kelompok tersebut. Sebagai contoh, kita semua dibesarkan dengan tata cara hidup yang berbeda dalam suku kita. Ada yang dibesarkan dengan sebuah tata cara hidup, kalau bertamu di rumah orang lain tidak boleh menghabiskan semua makanan yang disuguhkan sebab itu dipandang tidak sopan; sebagian orang yang lain dibesarkan dengan sebuah tata cara kehidupan, bahwa saat bertamu harus menghabiskan semua makanan yang ditawarkan, itu yang namanya sopan. Sebagian suku tertentu memandang saat seseorang menikah harus tinggal dengan orang tuanya, sementara suku yang lain memandang saat seorang menikah harus lepas dari orang tua. Dalam pengertian inilah kita akan membicarakan mengenai kebudayaan. Kebudayaan dalam konteks adat istiadat yang menjadi ciri atau identitas suku kita. Pergumulan sebuah suku untuk menjaga adat istiadat yang menjadi identitas diri mereka juga pernah dialami dari orang-orang Yahudi yang hidup dizaman Yesus dan Paulus. Bagi orang yahudi ada setidaknya ada tiga adat istiadat yang menjadi identitas orang Yahudi, yang tidak boleh ditinggalkan yakni yakni sunat, sabat dan aturan makan. Orang-orang yahudi diajari untuk selalu menyunatkan anak-anak mereka, bagi mereka sunat merupakan tanda perjanjian antara Allah dan mereka sebagai umat Allah. Selain itu hukum sabat, dimana orang-orang Yahudi tidak bekerja pada hari yang ketujuh, juga merupakan bagian dari identitas keyahudian mereka yang tidak boleh diabaikan oleh orang yang lahir dalam keluarga Yahudi. Dan yang terakhir, mereka pun dibesarkan dengan sebuah tradisi untuk tidak boleh makan bersama-sama dengan orang bukan Yahudi. Larangan makan ini adalah bentuk kongkrit dari larangan untuk bergaul dengan orang bukan Yahudi. Bagi orang-orang Yahudi, tiga hukum ini adalah segala-galanya. Bagi mereka tiga hukum identitas ini adalah bersifat mutlak, tidak boleh dilanggar oleh orang yang menamakan dirinya Yahudi. Persoalan muncul saat bangsa Yunani-Romawi memberlakukan yang namanya hukum pembauran atau disebut juga dengan istilah hellenisasi; maka orang-orang Yahudi memberontak dan melawan hal tersebut. Di zaman itu pemerintah Yunani romawi menetapkan sebuah kebijakan bahwa didunia jajahan Yunani Romawi, mereka harus memiliki satu kebudayaan yang sama yakni hellenis. Untuk menerapkan kebijakan ini, maka pemerintah Yunani-Romawi, melarang hukum sunat, sabat dan aturan makan. Orang-orang Yahudi diminta untuk tidak hidup secara eksklusif, mereka dilarang menyunatkan anak-anak mereka, dilarang untuk melakukan sabat dan dilarang untuk cuma makan bersama dengan sesama Yahudi. Lalu apa yang terjadi, orang-orang Yahudi melawan kebijakan ini mati-matian. Dan munculkan kelompok-kelompok tertentu yang akhirnya melakukan kekerasan bagi orang-orang Yahudi yang mengikuti kebijakan pemerintah Yunani-Romawi. Mengapa bagi orang-orang Yahudi, adat istiadat atau hukum sunat, sabat, dan aturan makan ini begitu penting? Alasannya adalah sebab bagi mereka, adat istiadat mereka itu adalah kebenaran yang berlaku mutlak, itulah sebabnya bagi mereka ketiga hukum tersebut, adat istiadat tersebut adalah segala-galanya. Namun, bagi Yesus dan Paulus, apa yang dianggap mutlak oleh orang-orang Yahudi di zamannya, maka bagi Yesus dan Paulus tiga sabat, sunat dan aturan makan bukan segala-galanya, itu hanyalah sebuah kebudayaan atau tradisi. Dalam injil-injil kita membaca bahwa Yesus menolak untuk mentaati hukum sabat dengan cara yang sama seperti orang-orang Yahudi pada umumnya lakukan. Bagi Yesus hukum sabat diberikan bagi manusia, jadi hukum sabat tidak seharusnya memperbudak manusia. Itulah sebabnya Yesus tidak menyalahkan murid-murid-Nya saat mereka memetik gandum di hari sabat yang oleh orang-orang Yahudi di zamannya dianggap tidak boleh. Mengapa demikian sebab ajaran tentang sabat yang selama ini diajarkan oleh guru-guru Yahudi tidak lebih dari kebudayaan dan bukan esensi Firman Tuhan. Demikian juga dengan Paulus, ia adalah seorang Yahudi. Sebagai seorang Yahudi ia dibentuk dengan sebuah kebudayaan untuk tidak bergaul dengan orang bukan yahudi. Namun saat Tuhan memanggilnya untuk memberitakan injil pada orang bukan Yahudi, ia rela melawan kebudayaan yang selama ini dipeliharanya. Ini menunjukkan bahwa kebudayaan bagi Paulus bukan segala-galanya. Sebagai seorang Yahudi, Paulus pun dari kecil dibentuk dengan sebuah budaya bahwa yang namanya umat Tuhan, haruslah disunatkan. Namun saat ia berhadapan dengan sebuah kenyataan bahwa orang-orang yang tidak disunatkan dapat menjadi umat Allah saat percaya pada Yesus, ia rela meninggalkan kebudayaannya bahkan melawan orang-orang yang memaksakakan sunat pada Titus dalam Galatia 2. Kembali kita melihat, saat orang-orang Yahudi lain menjadikan sunat atau kebudayaan sunat sebagai segala-galanya, namun Paulus menolak hal tersebut, baginya kebudayaan bukan segala-galanya. Demikian juga saat di kota Anthiokhia, saat orang-orang Yahudi Kristen yang lain meninggalkan meja makan orang-orang bukan Yahudi, karena hal tersebut dapat membuat orang-orang Yahudi yang masih berpegang keras pada tradisi atau kebudayaan untuk tidak makan bersama orang bukan Yahudi, dapat menimbulkan kemarahan mereka, namun Paulus menolak untuk takut terhadap orang-orang Yahudi yang masih berpegang pada tradisinya. Ia melawan kebudayaan tersebut. Mengapa demikian? Sebab bagi Paulus kebudayaan bukan segala-galanya, saat kebudayaan melawan Kristus, itu harus dilawan. Jadi, baik Yesus maupun Paulus, melihat hal yang sama bahwa tradisi dan adat kebiasaan kita bukanlah segala-galanya. Kita tidak dapat dan tidak boleh menjadikan semua tradisi dan adat kebiasaan kita sebagai hal yang mutlak. Jika Kebudayaan bukan segala-galanya, lalu apa yang terutama dan segala-galanya? Maka rasul Palus menolong kita untuk mengerti apa yang segala-galanya bagi kita. Bagi Paulus yang segala-galanya adalah Tuhan. Dalam Filipi 3, Paulus mengatakan jika dibandingkan dengan Kristus, segala kebudayaan yang dulu ia banggakan tidaklah ada nilainya. Paulus mengatakan bahwa i ia adalah suku Yahudi asli; ii ia adalah orang Farisi; iii ia tidak bercacat dalam mentaati hukum Taurat. Meskipun demikian, semua kelebihan tersebut tidak membuatnya menjadi umat Allah. Jika Yesus tidak menyatakan diri-Nya kepada Paulus, walaupun ia adalah orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang luar biasa, namun ia tetaplah termasuk kedalam kumpulan orang-orang yang sedang berjalan ke arah kebinasaan. Hal inilah yang menyebaban Paulus menjadikan kehendak Kristus sebagai hal yang utama dalam hidupnya. Karena Paulus mengerti apa yang Tuhan kehendaki, bahwa yang Ia inginkan adalah supaya manusia diselamatkan oleh injil, maka Paulus rela kalaupun ia harus meninggalkan kebudayaannya dan memiliki tata cara hidup seperti orang bukan Yahudi, ia rela melakukannya. Karena baginya kebudayaan bukan segala-galanya. Kristuslah yang segala-galanya. Jika bagi Paulus kebudayaan dan adat istiadat itu bukan segala-galanya, namun Yesus yang segala-galanya, bagaimana dengan anda dan saya. Apakah anda dan saya pun memiliki sikap yang sama? Saat kita menjadi orang Kristen, kemudian kita mengabungkan diri dalam gereja, maka ada satu azas yang dipegang oleh gereja, namanya adalah Sola Scriptura. Apa artinya istilah tersebut? Artinya hanya Alkitab yang mutlak dalam hidup kita, hanya kebenaran-kebenaran Tuhan yang dinyatakan dalam Alkitab yang berlaku mutlak dalam hidup kita, dan itu berarti bagi kita yang namanya tradisi dan adat kebiasaan seharunya tidak dianggap sejajar atau setara dengan Alkitab. Namun, realitanya, saat orang Kristen percaya kepada Yesus, mereka terkadang tidak mau melepaskan diri dari ikatan budaya khususnya saat budaya kita tersebut berlawanan dengan kebenaran injil. Saat seseorang mendapati bahwa ada perbedaan prinsipil antara injil dan budaya, kita sering memilih untuk mempertahankan budaya dari pada injil Tuhan. Sebagai contoh, Tuhan mengajarkan kepada kita bahwa ia hanya menciptakan laki-laki dan perempuan; dan pernikahan pun diijinkan hanya antara laki-laki dan perempuan. Persoalannya adalah zaman sekarang berubah; jika sebelumnya pernikahan sejenis dipandang aneh, sekarang pernikahan sejenis dianggap hak azasi manusia; jika dulu seseorang mengatakan dirinya seorang homosexual atau lesbian dianggap hal yang tabu, sekarang banyak orang rame-rame menyatakan dirinya kaum homosexuals, lesbians ataupun trans-genders. Sebaliknya, orang-orang yang tetap berpegang pada prinsip pernikahan laki-laki dan perempuan sekarang ini dipandang sebagai "orang aneh" bahkan dipandang sebagai "haters." Dalam situasi seperti ini kita diperhadapkan pada pilihan untuk mengikuti budaya karena takut dikucilkan atau tetap berpegang pada ajaran kitab suci; kita tetap tegas dengan apa yang benar dan salah namun tetap mengasihi mereka sebagai sesama manusia yang membutuhkan Kristus dalam hidup mereka. Jadi, walaupun kebudayaan memang tidak selalu salah dan negatif, ada warisan adat istiadat dan tradisi tententu yang baik, yang sejalan dengan kitab suci. Misalnya saja tradisi mengenai hormat pada orang tua, tradisi mengenai sopan santun dan tata krama, semuanya itu hal yang baik, dan hal yang baik, yang sejalan dengan kita suci dapat kita pelihara bahkan dapat kita gunakan untuk sarana dalam memberitakan injil. Namun saat budaya kita, saat adat istiadat yang kita miliki berlawanan dengan injil kebenaran Tuhan, mana yang akan kita pegang? Budaya atau Injil kebenaran Tuhan? Inilah yang akan menguji diri kita, inilah yang akan memperlihatkan kepada kita, siapa yang menjadi Tuhan dalam hidup kita. Indonesia merupakan bangsa yang dikarunia Tuhan dengan kekayaan akan keragaman budayanya. Kekayaan khasanah budaya nusantara telah memikat dan menarik perhatian masyarakat mancanegara. Kekaguman mereka akan budaya nusantara membawa ketertarikan untuk mempelajari corak dan keragaman budaya bumi khatulistiwa ini. Budaya yang memikat dunia manca ternyata berbanding terbalik dengan di dalam negeri sendiri, di mana masyarakat Indonesia, tidak lagi menghargai dan melestarikannya. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif dan deskriptif untuk melihat bagaimana pandangan etika terhadap kebudayaan nusantara dan begaimana tanggung jawab etika teologi dalam menjaga kelestarian kebudayaan nusantara. Dalam tanggung jawabnya melestarikan budaya nusantara, maka etika teologi berperan terhadap adanya inkulturasi dan kontekstualisasi Injil dan Budaya. Injil harus dapat menerangi kebudayaan, sehingga dalam kontekstualisasi, konteks budaya harus diterangi oleh teks Alkitab. Injil lebih tinggi dari budaya, sehingga budaya nusantara yang netral dan tidak bertentangan dengan Injil harus dapat dilestarikan. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 64 Jurnal Teologi Kontekstual Indonesia ISSN 2722-8630 online Vol. 2, No. 1 2021 64–74 Etika Teologis Dalam Memandang Tanggung Jawab Kristen Terhadap Kelestarian Budaya Nusantara Candra Gunawan Marisi1, Didimus Sutanto B Prasetya2, Dewi Lidya S3, Rikson Situmorang4 1, 3, 4 Prodi PK AUD Sekolah Tinggi Teologi Real Batam 2Prodi PK AUD STAKPN Sentani Email candragun dimuss4jc dewilidyasidabutar30 riksonstm1611 Abstract Indonesia is a nation that is gifted by God with a wealth of cultural diversity. The richness of the archipelago's cultural treasures has captivated and attracted the attention of foreign people. Their admiration for the culture of the archipelago brought an interest in studying the patterns and diversity of this equatorial earth culture. The culture that attracts the foreign world turns out to be inversely proportional to that in their own country, where the Indonesian people no longer respect and preserve it. This research was conducted using qualitative with descriptive approach methods to see how the ethical view of the archipelago culture is and how the responsibility of theological ethics is in maintaining the preservation of the archipelago culture. In its responsibility to preserve the culture of the archipelago, theological ethics plays a role in the inculturation and contextualization of the Gospel and Culture. The gospel must be able to illuminate culture, so that in contextualization, context culture must be illuminated by the text Bible. The gospel is higher than culture, so the culture of the archipelago which is neutral and does not conflict with the Bible must be preserved. Key words Culture, Archipelago, Sustainability, Theological Ethics Abstrak Indonesia merupakan bangsa yang dikarunia Tuhan dengan kekayaan akan keragaman budayanya. Kekayaan khasanah budaya Nusantara telah memikat dan menarik perhatian masyarakat Mancanegara. Kekaguman mereka akan budaya Nusantara membawa ketertarikan untuk mempelajari corak dan keragaman budaya bumi khatulistiwa ini. Budaya yang memikat dunia manca ternyata berbanding terbalik dengan di dalam negeri sendiri, di mana masyarakat Indonesia kurang menghargai dan melestarikannya. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif untuk melihat bagaimana pandangan etika terhadap kebudayaan Nusantara dan begaimana tanggung jawab etika teologi dalam menjaga kelestarian kebudayaan Nusantara. Dalam tanggung jawabnya melestarikan budaya nusantara, maka etika teologi berperan terhadap adanya inkulturasi dan kontekstualisasi Injil dan Budaya. Injil harus dapat menerangi kebudayaan, sehingga dalam kontekstualisasi, konteks budaya harus diterangi oleh teks Alkitab. Injil lebih tinggi dari budaya, sehingga budaya Nusantara yang netral dan tidak bertentangan dengan Injil harus dapat dilestarikan. Kata kunci Kebudayaan, Nusantara, Kelestarian, Etika Teologi. Pendahuluan Indonesia merupakan bangsa yang dikarunia Tuhan dengan kekayaan akan keragaman budayanya. Keragaman budaya yang membentang dari Sabang sampai Merauke adalah 65 kebudayaan Adiluhung warisan nenek moyang yang menjadi tradisi turun-temurun. Kekayaan khasanah budaya Nusantara telah memikat dan menarik perhatian masyarakat Mancanegara. Kekaguman mereka akan budaya Nusantara membawa ketertarikan untuk mempelajari corak dan keragaman budaya bumi khatulistiwa ini. Budaya yang memikat dunia manca ternyata berbanding terbalik dengan di dalam negeri sendiri, di mana masyarakat Indonesia, tidak lagi menghargai dan melestarikannya. Budaya Adiluhung diambang krisis, tergerus dengan modernisasi dan budaya asing yang digandrungi kaum muda. Cepat atau lambat, jika hal ini dibiarkan maka budaya Nusantara akan tergeser dan tergusur dari bumi Pertiwi. Kejayaannya hanya akan menjadi sebuah kenangan belaka. Bangsa yang kehilangan budayanya akan menjadi bangsa yang kehilangan jati diri, mengalami krisis identitas. Hal ini, tentu menjadi keprihatinan bersama dari semua lapisan masyarakat bangsa. Dalam hal ini, termasuk menjadi tanggung jawab masyarakat gereja. Alih-alih melestarikan budaya, tetapi justru sebaliknya. Kehadiran gereja di Nusantara justru diikuti dengan berkembangnya budaya Eropa, dan cenderung kebarat-baratan. Mulai dari tata ibadah, busana, musikalitas hingga ornamen-ornamen gereja sampai arsitektur bangunan gereja semua berbau Eropa. Perlahan-lahan mulai meninggalkan budaya asli Nusantara dan membentuk identitas baru, menjadi orang Nusantara rasa sejarah, budaya Nusantara dianggap budaya yang lahir dari penyembahan berhala, animisme, dinamisme bahkan paganisme sehingga dianggap bertentangan dengan kebenaran Firman Tuhan. Anggapan ini menjadikan budaya berlawanan dengan kekristenan dan harus ditinggalkan. Keengganan gereja untuk menerima budaya lokal mendapat tentangan dari orang lokal, sehingga hal ini menjadi kontra produktif bagi pemberitaan Injil. Hingga sejarah mencatat bahwa keberhasilan penginjilan di Nusantara adalah dimulai dari keberhasilan mengadopsi budaya lokal Nusantara. Sebagai contoh, kisah penginjilan di tanah Jawa oleh Paulus Tosari, Kyai Tunggul Wulung dan Kyai Sadrakh. Melakukan penginjilan kepada orang Jawa dengan pendekatan budaya Jawa, walaupun kemudian dituduh melakukan sinkritisme. Menurut Arie de Kuiper, bahaya sinkritisme selalu mengancam dalam upaya untuk menyesuaikan Injil dengan budaya, terlebih bila mengorbankan keaslian Injil demi keaslian budayanya. Hal ini yang mendasari Nommensen dalam membawa suku Batak mengenal Kristus. Nommensen tidak menentang adat Batak, tetapi menjadikannya sebagai jembatan bagi pemberitaan Injil di tanah Batak. Ia membaginya ke dalam tiga kategori, yaitu 1 Adat yang netral; 2 Adat yang bertentangan dengan Injil; dan 3 Adat yang sesuai dengan Luni Tumanan, “Ibadah Kontemporer Sebuah Analisis Reflektif Terhadap Lahirnya Budaya Populer Dalam Gereja Masa Kini,” Jurnal Jaffray 13, no. 1 2015 35, John Chambers and Haskarlianus Pasang, Cara Pandang Kristen Bogor Langham, 2015. 169 Ezra Tari, “Bagaimana Kita Bisa Melawan Sinkritisme Di Dalam Misi Kita?” 2012 1–15. Kuiper Arie De, Missiologia Jakarta BPK Gunung Mulia, 2009. 91 Mangapul Sagala, Apakah Benar Adat Batak Bertentangan Dengan Injil? Makalah Seminar Sehari “Adat Batak Dan Injil” Jakarta Yayasan Gema Kyriasa, 2004. 66 Berdasarkan perihal tersebut, maka tidak semua budaya itu negatif dan bertentangan dengan kebenaran Firman Tuhan sehingga harus ditolak dan dihindari. Tetapi justru sebaliknya harus dapat dilestarikan dan diwariskan kepada generasi penerus. Memang tidak dipungkiri ada budaya yang bertentangan dengan kebenaran Firman Tuhan, hal inilah yang seharusnya ditolak dan ditinggalkan. Hal ini menempatkan Etika teologi untuk dapat memandang kepada kebudayaan Nusantara yang netral dan tidak bertentangan dengan Injil untuk dapat dilestarikan. Dengan demikian, tanggung jawab kekristenan dalam melestarikan kebudayaan Nusantara adalah sebuah keniscayaan. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, pertama bagaimana peran etika teologi dalam memandang budaya Nusantara yang netral, bertentangan atau dapat diakomodasi serta dikuduskan. Kedua, bagaimana peran etika teologi dalam tanggung jawab kelestarian budaya Nusantara. Tujuan penelitian ini adalah, pertama menjelaskan peran etika teologi dalam memandang budaya Nusantara dan kedua, merumuskan peran etika teologi dalam tanggung jawab kelestarian budaya Nusantara. Metode Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif, penulis mengumpulkan data-data dari berbagai sumber, yang kemudian dianalisa dan dikembangkan sebagai bagian analisa data. Penelitian ini juga merupakan penelitian deskriptif, yakni menyelidiki literatur yang berkaitan dengan topik, termasuk menafsirkan ayat firman Tuhan yang berkaitan dengan topik untuk mendapatkan suatu data tentang peran etika teologi terhadap kelestarian budaya Nusantara. Hasil dan Pembahasan Peran Etika Teologi Dalam Memandang Kebudayaan Nusantara Istilah etika teologi tidak bisa dipisahkan dari etika secara umum, di mana dapat dimengerti setelah memahami etika secara umum. Etika teologis merupakan etika yang erat kaitannya dengan agama dan berisikan tentang unsur etika umum dan dapat umum, etika teologis dapat didefinisikan sebagai etika yang bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi teologis, dalam hal ini yang bersumber dari adalah salah satu negara yang dianugerahi Tuhan dengan kekayaan budaya yang beragam. Ragam budaya dari setiap suku membentuk adat kebiasaan yang diwariskan turun-temurun dalam kurun waktu berabad-abad tahun lampau lamanya itulah yang dimaksud dengan budaya Nusantara. Secara etimologi asal kata, kebudayaan berasal dari kata Sonny Eli Zaluchu, “Strategi Penelitian Kualitatif Dan Kuantitatif Di Dalam Penelitian Agama,” Evangelikal 4, no. 1 2020 28–38. Ibid. Johannes Verkuyl, Etika Kristen Dan Kebudayaan, 2nd ed. Jakarta Badan Penerbit Kristen, 1996. 13-14 Paul L Lehman, Ethics in a Christian Context New York Harper & Row Publisher, 1963. 25 67 “buddhayah” bahasa Sansekerta. Kata jamak “buddhi”, yang berarti budi atau akal dan kata “dayah” berarti kemampuan. Kebudayaan berarti, hal-hal yang berkaitan dengan hasil pemikiran atau berakal. Menurut Verkuyl, kebudayaan adalah segala sesuatu yang diciptakan oleh akal manusia, yang berhubungan erat dengan pengerjaan atau pengelolaan kemungkinan-kemungkinan dalam alam penciptaan oleh manusia dalam lingkup mengatakan bahwa kebudayaan, sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan cara hidup dan kebiasaan manusia secara utuh, meliputi cara berpikir, dan mengisi kehidupan dengan melakukan yang dipikirkannya itu, dengan tujuan untuk menata, memelihara serta mempertahankan kehidupannya di dalam konteks di mana ia berada. Sementara Sarinah menyatakan bahwa kebudayaan merupakan cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama suatu kelompok orang yang diwariskan turun-temurun. Setiap kebudayaan terdapat makna, tujuan dan pesan tersendiri yang ingin disampaikan. Oleh karenanya memerlukan suatu keahlian dalam menginterpretasikan kebudayaan untuk membangun suatu pengertian, pemahaman dan penerimaan suatu kebudayaan itu dibedakan ke dalam tiga bentuk, menurut Hoenigman, yaitu gagasan, aktivitas dan artefak. Di mana gagasan merupakan wujud kebudayaan yang terdiri dari ide, nilai atau norma peraturan dalam adat-istiadat. Aktivitas merupakan wujud kebudayaan yang tampak dalam tindakan manusia dalam berinteraksi, bergaul dengan manusia yang lain berdasarkan pola-pola tertentu tingkah laku yang di dasarkan atas adat kebiasaan mereka. sedang artefak adalah wujud kebudayaan berupa benda dan semua karya manusia yang dapat dilihat, diraba dan didokumentasikan. Dasar Alkitabiah Kebudayaan Kebudayaan sebagai hasil karya cipta manusia menunjukkan bahwa hal ini tidak bisa dipisahkan dari awal terciptanya manusia itu sendiri. Dengan kata lain, kebudayaan manusia itu terbentuk sejak penciptaan. Namun, penciptaan dan kebudayaan tidak bisa disamakan karena penciptaan adalah apa yang Allah karyakan, bersumber dari Pribadi Allah, sedangkan kebudayaan adalah apa yang manusia karyakan, bersumber dari manusia yang merupakan hasil ciptaan Allah. Hal ini membuktikan bahwa Alkitab itu melampaui dari segala macam bentuk kebudayaan manapun. Sebagai implikasinya adalah bahwa segala sesuatu harus mengacu dan diuji berdasarkan standar Alkitab. Dengan demikian, dasar kebudayaan harus dilihat berdasarkan dasar Alkitabiahnya. Kej. 1 28; 215 telah membuktikan bahwa cikal Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Jakarta Rineka Cipta, 2009. 181 Verkuyl, Etika Kristen Dan Kebudayaan. 13-14 Yakub Tomatala, Antropologi; Dasar Pendekatan Pelayanan Lintas Budaya Jakarta YT Leadership Foundation, 2007. 17. Sarinah, Ilmu Budaya Dasar Sleman CV Budi Utama, 2019. 11. Harold Netland, Encountering Religious Pluralism The Challenge to Christian Faith Mission Downers Grove IVP Acadamic, 2001. 57. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. John M Frame, “Kekristenan Dan Kebudayaan Bagian 1,” Veritas Jurnal Teologi dan Pelayanan 6, no. 1 2005 1–27. 68 bakal kebudayaan adalah diciptakannya manusia. Dengan demikian, di mana ada manusia di situ ada diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, hal ini berimplikasi bahwa manusia memiliki konskuensi antara lain 1 Secara aspek rohani akan mampu mengenali suatu wilayah agama atau kepercayaan. Melalui natur ini, manusia akan mampu mengenali sifat-sifat atau hal-hal yang supra-natural. 2 Aspek etika-moralitas, manusia akan mengerti suatu wilayah kebudayaan atau adat-istiadat. Hal ini seharusnya membawa manusia mengerti bagaimana bersikap, bertutur dan bersantun. 3 Aspek hukum, manusia akan mencari dan menemukan keadilan dalam prilakunya. Di sini manusia dituntut suatu pertanggung jawaban dalam berprilaku. Di mana ada sifat keadilan Allah yang ditanam dalam hati manusia, sehingga ada konsekuensi-konsekuensi dari setiap prilaku yang dilakukannya, oleh karenanya manusia dituntut untuk berpikir dan berhati-hati atas setiap tindakan yang akan dilakukannya. 4 Aspek rasio, akan membawa manusia mengenal pendidikan dan pengembangan diri. Ada kecenderungan untuk selalu melakukan aktivitas rasionalisasi dan akan selalu mencari yang dirasakan lebih baik daripada yang Kebudayaan Penempatan manusia di taman Eden oleh Allah adalah untuk mengusahakan dan memelihara taman itu, selain untuk beranak cucu dan memenuhi bumi. Hal ini dapat dipahami bahwa berkebudayaan adalah suatu mandat atau perintah agar manusia dapat memenuhi, menaklukkan, menguasai, mengerjakan mengusahakan dan memelihara seluruh ciptaan Allah. Kebudayaan adalah perintah Allah untuk beranak cucu, bertambah banyak dan untuk berkuasa atau mengelola ciptaan Tuhan yang lainnya. Tuhan memberikan perintah kepada manusia untuk mengusahakan budaya yang seharusnya bagi kemuliaan Tuhan. Namun kejatuhan manusia dalam dosa merupakan bukti pemberontakan manusia kepada Allah. Manusia lebih mengikuti kehendaknya sendiri, hal ini menunjukkan bahwa manusia justru takluk dan tunduk serta dikuasai oleh kebudayaan-kebudayaan tertentu. Manusia lebih taat kepada produk kebudayaan dari pada larangan atau perintah Allah sendiri. Mandat budaya menempatkan manusia sebagai satu-satunya ciptaan Allah yang diberi kemampuan berbudaya melalui akal pikirannya. Allah menciptakan alam dan manusia. Sehingga manusia pun seturut teladan Allah mencipta dengan mendayagunakan alam ciptaan-Nya dengan setiap potensi yang telah Allah berikan untuk masing-masing individu. Setiap yang dikerjakan manusia tidak terlepas dari pengaruh budaya yang telah dia ketahui dan warisi. Sehingga hal ini akan berdampak kepada kebudayaan selanjutnya, baik itu dengan menerima, menentang, mengkoreksi bahkan mengembangkan budaya sebelumnya. Budaya Lotnatigor Sihombing, “Tanggung Jawab Gereja Dalam Mewujudnyatakan Karya Kristus Di Sektor Kebudayaan,” Amanat Agung 7, no. 2 2011 257–288. Sundoro Tanuwidjaja and Samuel Udau, “Iman Kristen Dan Kebudayaan,” Jurnal Teologi Kontekstual Indonesia 1, no. 1 2020 1–14. Ibid. 69 yang ditanamkan dan diajarkan turun-temurun dari generasi satu ke generasi berikutnya memberikan suatu identitas pengenalan diri yang melekat dalam diri manusia itu sendiri. Sayangnya, tidak ada satu kebudayaan pun yang membawa manusia mengenali dirinya sebagai gambar dan peta Allah sejati dalam hidupnya. Sehingga kebudayaan pun membawa kepada kebuntuan di dalam pengenalan akan diri yang sejati. Mandat budaya hanya dapat dilakukan dengan wahyu Allah. Hal ini jika tidak berhati-hati justru akan membawa pada pelestarian dosa di dalam kebudayaan yang melawan wahyu kebenaran Tuhan. Oleh karenanya, mandat budaya hanya dapat dilakukan oleh mereka yang sudah mengenal Tuhan karena menjalankan mandat budaya itu berarti menjalankan rencana Allah sesuai dengan desain yang direncanakan-Nya semula. Kebudayaan yang manusia berdosa kerjakan pada akhirnya akan menggantikan posisi Allah dengan hal lain. Di dalam penciptaan yang Allah kerjakan, Allah memiliki tujuan, desain, suatu keteraturan, suatu kesinambungan dan mengandung kebijaksanaan. Tujuan penciptaan Allah adalah untuk menggambarkan kemuliaan Allah. Manusia di dalam kebudayaannya pun memiliki tujuan, pemikiran dan maksud di belakang yang mendasari setiap penampakkan yang terlihat dari setiap kebudayaannya. Oleh karena itu, dalam melaksanakan mandat budaya tersebut dibutuhkan perspektif atau pandangan etika teologis, dalam hal ini tentunya teologi kristen. Bagaimana pandangan etika kristen terhadap suatu kebudayaan atau kebudayaan yang ada di Indonesia, yaitu kebudayaan Nusantara? Perspektif Etika Kristen Tentang Kebudayaan Nusantara Etika kristen merupakan cabang ilmu teologi yang membahas masalah tentang apa yang baik Ethos, bahasa Yunani, yang berarti kebiasaan atau adat dari sudut pandang kekristenan. Standar moral yang digunakan dalam moral kristen adalah kehendak Allah yang terdapat dalam Alkitab. Tuhan memberikan perintah kepada manusia untuk berbudaya dalam kelestarian manusia dan ciptaan yang lainnya Pada dasarnya kebudayaan harus berdasarkan kepada suatu tatanan kehidupan yang membawa dan mengarahkan manusia kepada pengenalan akan Tuhan dan mengasihi Tuhan. Oleh karenanya, segala sesuatu yang sesuai dengan kehendak Allah adalah yang baik. Sehingga dalam kaitannya dengan hal ini adalah apakah kebudayaan yang ada di Indonesia adalah kebudayaan yang mengajarkan moral baik, yaitu moral yang sesuai dengan kehendak Allah. Maka, secara sederhananya adalah bila moral baik atau nilai-nilai atau norma dari suatu kebudayaan itu tidak bertentangan dengan kehendak Allah maka hal itu bisa diterima. Peran Etika Teologi Dalam Tanggung jawab Kelestarian Kebudayaan Nusantara Tanggung jawab kelestarian budaya Nusantara seharusnya menjadi tanggung jawab semua elemen bangsa. Alih-alih merawat dan melestarikan kebudayaan Nusantara, acapkali banyak pihak justru cuek dan mengabaikannya. Kebudayaan dipertentangkan dengan Frame, “Kekristenan Dan Kebudayaan Bagian 1.” 70 kemajuan zaman dan akidah agama, hal ini menjadikan kebudayaan Nusantara mulai ditinggalkan. Setidaknya terdapat dua kelompok yang kontra terhadap kebudayaan Nusantara, yaitu 1 Kelompok modernis, di mana kelompok ini tergila-gila dengan modernitas kemodernan atau kekinian dan kemajuan. Kebudayaan Nusantara dianggap tradisional jadul, usang, kuno, tua dan ketinggalan jaman. 2 Kelompok agamis, baik kelompok islamis dan termasuk kelompok kristen puritan-reformis, di mana kelompok ini adalah kelompok fanatikus agama atau kaum reformis-puritan yang mengidealkan kemurnian ajaran akidah, kesempurnaan praktik doktrin dan ajaran yang bersih dan murni dari unsur-unsur lokal. Ironisnya mereka menolak budaya lokal, tetapi secara tidak disadari mereka membawa budaya baru asing yang dibungkus dalam bungkus rohani agama. Menjadi kearab-araban atau pun kebarat-baratan, terlalu Eropa bahkan keyahudi-yahudian. Sukarno, Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia dan Presiden pertama Indonesia pernah menekankan pentingnya jati diri bangsa, yang berkepribadian kebudayaan Nusantara. Hal ini jangan terkikis oleh budaya luar, termasuk dalam hal keagamaan. Sukarno menegaskan jika beragama Hindu jangan jadi orang India berbudaya India, beragama Islam jangan jadi orang Arab berbudaya Arab dan beragama Kristen jangan jadi orang Yahudi berbudaya Yahudi, tetapi harus tetap menjadi orang Indonesia yang berbudaya Kristen Terhadap Kelestarian Kebudayaan Pandangan Kristen tentang kebudayaan sangat beragam, seperti halnya yang dipaparkan oleh Niebuhr, di mana terdapat lima tipologi pendekatan orang kristen terhadap kebudayaan, yaitu 1 Christ Againts Culture, menganggap bahwa pada dasarnya kebudayaan manusia adalah buruk, penuh dosa dan jahat sehingga bertentangan dengan iman kristen, 2 Christ of Culture, melihat bahwa pada dasarnya kebudayaan adalah baik dan dapat menemukan Kristus sebagai pahlawan dari sejarah kebudayaan, nilai dan kehidupan budaya mereka, 3 Chirst Above Culture, berpandangan bahwa sebagian kebudayaan pada dasarnya adalah baik sehingga dapat disintesakan dengan iman kristen, 4 Christ and Culture in Paradox, beranggapan bahwa kebudayaan itu buruk, penuh dosa dan jahat sehingga orang kristen berada pada ketaatan yang bertentangan antara iman kristen dan kebudayaan, 5 Christ, Transformer of Culture, menganggap bahwa pada dasarnya kebudayaan adalah baik, namun karena manusia jatuh dalam dosa, maka kebudayaan perlu ditebus, dikuduskan, direstorasi agar dapat diubah untuk kemuliaan secara sederhana, Nommensen berkaitan dengan pandangannya terhadap budaya atau adat, ia mengklasifikasikannya ke dalam tiga kategori, yaitu 1 Adat yang netral; 2 Adat yang bertentangan dengan Injil; dan 3 Adat yang sesuai dengan Injil. Hal ini berarti bahwa ada adat atau budaya yang berlawanan dengan iman kristen dan ada budaya “Https// BBC. H. R. Niebuhr, Kristus Dan Kebudayaan Jakarta Petra Jaya, 1995. 44-49 Sagala, Apakah Benar Adat Batak Bertentangan Dengan Injil? Makalah Seminar Sehari “Adat Batak Dan Injil.” 71 yang tidak bertentangan dengan iman kristen. Karena kejatuhan manusia ke dalam dosa Roma 323, segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia atau kecenderungan manusia adalah berbuat kejahatan semata-mata kejadian 65. Bagaimana untuk dapat menilai suatu budaya berlawanan atau tidak dengan iman kristen dibutuhkan perspektif atau pandangan etika teologis, dalam hal ini tentunya teologi kristen. Bagaimana pandangan etika kristen terhadap suatu tanggung jawab kelestarian kebudayaan atau kebudayaan yang ada di Indonesia, yaitu kebudayaan nusantara. Perspektif Etika Teologi Terhadap Tanggung Jawab Kelestarian Kebudayaan Nusantara Tanggung jawab kelestarian kebudayaan adalah tanggung jawab bersama, termasuk umat kristiani sebagai warga negara. Di mana gereja hadir di dalam masyarakat multi-kultur majemuk, pluralis. Bagaimana gereja harus bersikap terhadap kebudayaan akan sangat berdampak pada kelangsungan atau kelestarian budaya nusantara. Bagaimana dalam melaksanakan iman kristianinya sekaligus sebagai warga negara melaksanakan kebudayaannya tidak bertentangan paradoks. Langkah apa saja yang gereja perlu ambil agar tetap bisa eksis dalam budaya-budaya lokal yang berbhinneka dan terus berubah tanpa merusak atau menghancurkan budaya-budaya itu, tetapi pada saat yang sama membawa pembaharuan dan perubahan sehingga Injil dapat diberitakan dan dilaksanakan dapat meyelamatkan baik orang Yahudi maupun orang Yunani Roma 1 16 dengan konteks budayanya. Di sinilah peran etika teologis untuk dapat melihat dan menempatkan diri pada batasan-batasan yang jelas antara Injil dan Kebudayaan itu sendiri. Menurut Lukito, tidak ada injil yang bebas dari kebudayaan. Menurutnya, yang terpenting adalah bukan bagaimana injil menaklukkan kebudayaan tetapi bagaimana hubungan antara injil dan kebudayaan itu. Ia menyatakan bahwa hubungan Injil dan kebudayaan itu sama halnya hubungan antara teks dan konteks. Injil merupakan teks yang harus ditafsirkan artinya, sementara kebudayaan juga merupakan konteks yang memerlukan suatu gereja menanamkan Injil dalam budaya masyarakat, oleh umat Katholik dikenal dengan istilah inkulturasi, yakni menurut Soenarjo 1977 adalah suatu usaha masuk dalam kultur suatu alam budaya atau membudaya agar kehidupan kristiani tidak merupakan gejala asing di tengah alam budaya itu. Kaum Protestan lebih menyukai istilah kontekstualisasi, yakni upaya untuk memahami iman kristen dipandang dari suatu konteks tertentu, baik itu budaya tradisional maupun budaya modern Bevans, 2002. Kedua istilah ini memiliki tujuan yang sama, yaitu usaha untuk menginkarnasikan Injil ke dalam budaya masyarakat di mana Injil itu diberitakan sehingga Injil dalam seluruh ikutannya, baik bahasa, berlambang, berdoa, berpikir, berbicara, berdiam, bergaya, berseni, berpuisi, berteologi, berperasaan, dst. Lukito, The Undending Dialogue of Gospel and Culture” Dalam Struging in Hope A Tribute the Rev. Dr. Eka Darmaputra, ed. Ferdinand Suleeman, Adji Ageng Sutama, and A Rajendra Jakarta BPK Gunung Mulia, 2011. 227 Ebenhaizer Nuban Timo, “Gereja Dan Budaya-Budaya,” Penuntun Jurnal Teologi dan Gereja 14, no. 25 2013 57–70. Ibid. 72 menjelma dalam wajah budaya tersebut. Lebih lanjut Timo menekankan perihal pentingnya dua aksen dalam kontekstualisasi dan inkulturasi, yaitu 1 sungguh-sungguh mempertahankan nilai-nilai budaya dan 2 sungguh-sungguh mengkritisi nilai-nilai itu. Pengintegrasian Injil ke dalam suatu budaya demi kelestarian suatu budaya tetap harus menjaga fungsi kritis dari Injil terhadap budaya itu, demi mengembangkan atau mentransformasikan budaya tersebut. Kontekstualisasi dan inkulturasi tidak hanya dilakukan kepada budaya mayoritas mendominasi masyarakat, tetapi juga terhadap budaya masyarakat terpinggirkan minoritas. Gereja harus bekerja sedemikian rupa agar Injil dapat menggarami dan menerangi keduanya, agar kelompok marginal tidak merasa risih, minder bahkan malu mengenai budayanya. Serentak dengan itu adalah agar dapat bekerja bersama-sama untuk membebaskan budaya masing-masing dari kekuatan-kekuatan demonis yang menciderai dan menindas manusia. Dengan kata lain, kontekstualisasi itu terdiri dari teks Injil dan konteks budaya di mana, Injil teks harus mempengaruhi, menggarami budaya konteks bukan sebaliknya. Kesimpulan Kebudayaan Nusantara merupakan warisan leluhur yang adiluhung. Hadirnya agama, termasuk kekristenan menjadikan budaya berada pada hal yang dianggap mistis dan berbau paganisme sehingga harus dihindari. Ambiguitas dan disposisi gereja dalam memandang budaya Nusantara menempatkannya berada pada pusaran krisis. Kelestariannya terancam punah. Diperlukan posisi sikap yang jelas dari peran etika teologi dalam pandangan dan tanggung jawabnya terhadap kelestarian budaya Nusantara ke depan. Berdasarkan hal tersebut, maka kesimpulan kajian dan hasil pembahasan tersebut di atas adalah sebagai berikut pertama peran etika teologi dalam memandang budaya Nusantara sebagai mandat kebudayaan dari awal penciptaan. Di mana kebudayaan ada sejak penciptaan manusia, tetapi kebudayaan dan penciptaan tidaklah sama karena penciptaan adalah karya Allah yang bersumber pada Pribadi-Nya, sedangkan kebudayaan adalah hasil karya berpikir manusia yang merupakan hasil ciptaan Allah. Hal ini membuktikan bahwa Alkitab itu melampaui setiap kebudayaan manusia, dalam hal ini termasuk kebudayaan Nusantara. Sehingga Alkitab harus menjadi parameter utama dalam memandang kebudayaan manusia. Alkitab menjadi dasar etika teologi dalam memandang budaya Nusantara. Manusia diciptakan Allah itu serupa dan segambar dengan-Nya, oleh karena seharusnya dalam berkebudayaan adalah bertujuan untuk menjalankan rencana Allah yang sudah ditetapkan-Nya dari semula. Tujuan penciptaan adalah untuk menggambarkan kemuliaan Allah, sehingga yang harus menjadi tujuan kebudayaan manusia adalah untuk menyatakan kemuliaan Allah juga, bukan malah sebagai wujud pelestarian dosa yang melawan wahyu kebenaran Allah. Sehingga sebagai standart moral yang digunakan dalam memandang suatu kebudayaan manusia adalah apakah bertentangan dengan kehendak Allah dalam Alkitab atau tidak. Kedua, peran etika teologi Ibid. 73 dalam tanggung jawab kelestarian budaya Nusantara. Kebudayaan Nusantara diperhadapkan dengan modernitas dan akidah agama. Budaya dianggap usang kuno, jadul, ketinggalan zaman oleh kaum modernisme, sedangkan oleh kaum puritan budaya dianggap bertentangan dengan akidah agama sehingga harus ditinggalkan. Dua pandangan kelompok ini mengancam kelestarian budaya Nusantara ke depan. Sehingga diperlukan pandangan etika teologis sebagai tanggung jawab warga gereja, sebagai warga bangsa dalam melestarikan budaya Nusantara. Pandangan kristen terhadap penerimaan akan kebudayaan sangat beragam. Ada yang menolak, menerima sebagian, menerima seutuhnya. Di mana semua disertai dengan alasan yang melatar belakangi dari setiap pandangan tersebut. Pelestarian budaya Nusantara merupakan tanggung jawab warga bangsa, termasuk dalam hal ini warga gereja tetapi dalam pelaksanaannya juga harus memperhatikan akidah iman kristiani. Di sinilah peran etika teologis untuk dapat melihat dan menempatkan diri pada batasan-batasan yang jelas antara Injil dan Kebudayaan. Dalam tanggung jawabnya melestarikan budaya Nusantara, maka etika teologi berperan terhadap adanya inkulturasi dan kontekstualisasi Injil dan Budaya. Injil harus dapat menerangi kebudayaan, sehingga dalam kontekstualisasi, konteks budaya harus diterangi oleh teks Alkitab. Injil teks lebih tinggi dari budaya konteks, sehingga budaya Nusantara yang netral dan tidak bertentangan dengan Injil harus dapat dilestarikan. Ucapan Terima Kasih Penulis dan tim penulis menyampaikan terima kasih kepada Ketua STT REAL Batam yang memberikan dukungan atas penelitian dan menghasilkan suatu tulisan ini. Rujukan Chambers, John, and Haskarlianus Pasang. Cara Pandang Kristen. Bogor Langham, 2015. De, Kuiper Arie. Missiologia. Jakarta BPK Gunung Mulia, 2009. Frame, John M. “Kekristenan Dan Kebudayaan Bagian 1.” Veritas Jurnal Teologi dan Pelayanan 6, no. 1 2005 1–27. Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta Rineka Cipta, 2009. Lehman, Paul L. Ethics in a Christian Context. New York Harper & Row Publisher, 1963. Lukito, The Undending Dialogue of Gospel and Culture” Dalam Struging in Hope A Tribute the Rev. Dr. Eka Darmaputra. Edited by Ferdinand Suleeman, Adji Ageng Sutama, and A Rajendra. Jakarta BPK Gunung Mulia, 2011. Netland, Harold. Encountering Religious Pluralism The Challenge to Christian Faith Mission. Downers Grove IVP Acadamic, 2001. Niebuhr, H. R. Kristus Dan Kebudayaan. Jakarta Petra Jaya, 1995. Sagala, Mangapul. Apakah Benar Adat Batak Bertentangan Dengan Injil? Makalah Seminar Sehari “Adat Batak Dan Injil.” Jakarta Yayasan Gema Kyriasa, 2004. Sarinah. Ilmu Budaya Dasar. Sleman CV Budi Utama, 2019. Sihombing, Lotnatigor. “Tanggung Jawab Gereja Dalam Mewujudnyatakan Karya Kristus Di Sektor Kebudayaan.” Amanat Agung 7, no. 2 2011 257–288. 74 Tanuwidjaja, Sundoro, and Samuel Udau. “Iman Kristen Dan Kebudayaan.” Jurnal Teologi Kontekstual Indonesia 1, no. 1 2020 1–14. Tari, Ezra. “Bagaimana Kita Bisa Melawan Sinkritisme Di Dalam Misi Kita?” 2012 1–15. Timo, Ebenhaizer Nuban. “Gereja Dan Budaya-Budaya.” Penuntun Jurnal Teologi dan Gereja 14, no. 25 2013 57–70. Tomatala, Yakub. Antropologi; Dasar Pendekatan Pelayanan Lintas Budaya. Jakarta YT Leadership Foundation, 2007. Tumanan, Yohanis Luni. “Ibadah Kontemporer Sebuah Analisis Reflektif Terhadap Lahirnya Budaya Populer Dalam Gereja Masa Kini.” Jurnal Jaffray 13, no. 1 2015 35. Verkuyl, Johannes. Etika Kristen Dan Kebudayaan. 2nd ed. Jakarta Badan Penerbit Kristen, 1996. Zaluchu, Sonny Eli. “Strategi Penelitian Kualitatif Dan Kuantitatif Di Dalam Penelitian Agama.” Evangelikal 4, no. 1 2020 28–38. “Https// BBC. Tolop MarbunRitual manulangi salah satu saran memberikan penghormatan tertinggi kepada orang tua sesuai dengan ajaran leluhur orang Batak. Karena ritual manulangi merupakan ajaran leluhur, ada orang yang merasa bahawa ritual manulangi sudah tidak relavan karena menghormati orang tua bisa berbagai cara. Ada juga memiliki sikap sekatarianisme yang menganggap bahwa semua adat istiadat Batak Toba merupakan dosa dan bertentangan dengan Alkitab. Tujuan dari penelitian ini memberikan nilai-nilai teologis dalam ritual manulangi sehingga orang Batak Toba masa kini bisa tetap mempertahan ritual manulangi dengan nilai-nilai kekristenan. Metode yang digunakan penelitian kualitatif dengan model studi literatur. Data yang diperoleh melalui literatur yang berkaitan dengan judul, kemudian dianalisan untuk menghasilkan kerangka berpikir. Selanjutnya penulis melakukan kajian teologis dari hasil temuan data. Rituali manulangi memenuhi hukum yang utama dan terutama yaitu, kasih kepada Allah dan kasih kepada manusia. Kasih kepada Allah melalui ritual menulangi sebagai saran memuliakan Allah dan menghormati orang tua sebagi ketaatan kepada Allah. Kasih kepada sesama manusia melalui ritual manulangi sebagai saran menghormati orang tua, saling memberkati, restorasi hubungan keluarga dan sarana tolong TanuwidjajaSamuel UdauCulture is created by God, as it is the essence of Christian faith, in order to reflects His values and glory. Culture can not be separated from the existence of God relate to its origin, process and ultimate objective. However, culture is never be able separated from humanity's oldest struggle, sin. The existence of sin also takes part in various area in the development of human culture, there for brings those who insult and assume that God is not the highest and must be glorified, even rejecting the existence of God. The teachings of the Christian faith explain the concept of redemption which finally enables the culture to recognize the existence of God as the highest being, and to reveal His glory. This paper expresses various Christian struggles in addressing the existence and development of human culture from the perspective of the Christian faith, and returning it to God's original position and purpose for humans. Kebudayaan berasal dari Allah dijalankan sesuai tata nilai dari Allah dan dan harus kembali kepada Allah, itulah esensi iman Kristen. Budaya tidak dapat dipisahkan dari keberadaan Allah, baik asal mulanya, prosesnya hingga kepada tujuan akhirnya. Walau demikian, kebudayaan tidak terlepas dari pergumulan tertua manusia, yaitu dosa. Keberadaan dosa juga mengambil andil dalam perkembangan kebudayaan manusia ke berbagai bidang, sehingga ada yang melecehkan dan mengganggap bahwa Allah bukanlah yang tertinggi dan harus dimuliakan, bahkan menolak keberadaan Allah. Ajaran iman Kristen memaparkan konsep penebusa yang akhirnya memampukan kebudayaan itu mengakui keberadaan Allah sebagai Pribadi yang tertinggi, dan menyatakan kemuliaan-Nya. Tulisan ini mengungkapkan berbagai pergumulan orang Kristen dalam menyikapi keberadaan maupun perkembangan kebudayaan manusia dari sudut pandang iman Kristen, dan mengembalikannya pada posisi maupun tujuan awal Allah bagi JohnTopik yang akan kita bahas adalah “Kekristenan dan Kebudayaan.” Topik ini akan dibagi menjadi lima bagian. Bagian pertama akan membahas “Apakah Kebudayaan itu?,” kemudian “Kristus dan Kebudayaan,” yang membahas tentang relasi Kristus dengan semua kebudayaan di dunia. Pada bagian ketiga, “Kristus dan Kebudayaan kita,” saya akan lebih mengkhususkan pada apa yang kita pelajari di kebudayaan Barat di mana manusia hidup. Bagian keempat adalah “Orang Kristen di dalam Kebudayaan Kita,” yaitu pembahasan yang berkaitan dengan manusia bagaimana seharusnya menanggapi kebudayaan di sekeliling kita? Bagaimana orang Kristen seharusnya berinteraksi dengan kebudayaan masa kini apakah kita harus lari darinya, memeranginya, membuat alternatif, atau apa? Bagian terakhir, “Kebudayaan di dalam Gereja,” membahas apa yang dapat diperbuat oleh gereja dengan kebudayaan di dalam pelayanannya dalam penginjilan, penggembalaan pada orang percaya, dan Religious Pluralism The Challenge to Christian Faith Mission. Downers Grove IVP AcadamicHarold NetlandApakah Benar Adat Batak Bertentangan Dengan Injil? Makalah Seminar SehariMangapul SagalaTanggung Jawab Gereja Dalam Mewujudnyatakan Karya Kristus Di Sektor KebudayaanLotnatigor SihombingEthics in a Christian ContextPaul L LehmanEtika Kristen Dan KebudayaanJohannes VerkuylJakarta BPK Gunung MuliaKuiper Arie DeMissiologia

sikap kristen terhadap kebudayaan yang tepat adalah